Cerita Seks Larangan Hubungan Dengan Atasan - CERITA DEWASA

Breaking

Post Top Ad

Cerita Seks Larangan Hubungan Dengan Atasan

Cerita Seks Larangan Hubungan Dengan Atasan

Mbak Juliana kurang lebih 2 minggu bekerja sebagai atasanku sebagai Manajer Akuntansi. Sebagai atasan baru, ia sering dibawa ke ruang diskusi untuk menjelaskan overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin karena latar belakang pendidikanku tidak mendukung, manajemen memutuskan merekrutnya. Ia berasal dari sebuah perusahaan konsultan keuangan.

Usianya kutaksir sekitar 25 hingga 30 tahun. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau usiaku sendiri 10 tahun di atas. Tapi atas permintaanya sendiri, selama yang lalu, ia mengatakan lebih suka jika di panggil "Mbak". Sejak saat itu mulai terbina suasana dan hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu formal. Karena sikapnya yang ramah. Ia sering menyebut namaku, sesekali ketika berbicara dengan rekan kerja lainnya, ia menyebut “Pak”.

Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku betah dan nyaman bila dilihat memunculkan yang cantik dan lembut menawan. Ia memang menawan karena bisa diputar bola waktu bisa benar-benar, atau menatap tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendekati. Mungkin karena telah memenangkan pemilihan yang cukup tinggi dalam usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh seseorang melakukan apa yang diinginkannya.

Mbak Juliana selalu berpakaian formal. Ia selalu mengenakan blus dan rok hitam yang agak longgar di atas lutut. Saat sedang berada di ruang persiapan, diam-diam aku sering melihat lekukan pinggulnya kompilasi ia mengambil file dari folder rak di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tapi aku bisa melihat pinggul yang samar-samar tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tidak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, menarik mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya.

Di dalam ruangan yang besar, terus di samping meja, ada sofa terpisah yang sering digunakan menerima tamu-tamu perusahaan. Sebagai Manajer Akuntansi, tentu saja selalu ada pembicaraan-privasi 'yang lebih nyaman dilakukan di ruang diskusi daripada di ruang rapat.

Aku yang beruntung jika diminta Mbak Juliana untuk membahas arus kas keuangan di kursi sofa itu. Aku selalu duduk terus di sini. Dan jika kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius, ia tidak berhasil roknya yang agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku bisa melipatgandakan kulit paha yang berwarna gading. Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku kesulitan untuk mengintip ujung pahanya. http://beritabagus.net/situs-qq/Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat kupastikan bulu-bulu halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke pangkalnya. Ketika kedua lututnya kembali, lirikanku beralih ke betisnya. Betis yang indah dan bersih. Terawat. Ketika aku terlena menatap pemulihan,

“Susanto, aku suka itu kau sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah? ”Aku terdiam sambil tersenyum untuk mendapatkan jantungku yang tiba-tiba berdebar.

"Susanto, salahkah dugaanku?"

"Hmm .., ya, benar Mbak," jawabku, jujur. Mbak Juliana tersenyum sambil memandang mataku.

"Kenapa?"

Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi kompilasi menengadah menatapku, kulihat bola mata berbinar-binar menunggu jawabanku.

“Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah Dan .., ”setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.

"Saya juga sering meminta-duga, apakah Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu."http://beritabagus.net/situs-qq/

"Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya," kata Mbak Tia sambil sedikit mendorong kursi rodanya.

"Agar kamu tidak penasaran untuk berpartisipasi, bagaimana jika kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?"

"Sebuah kehormatan besar untukku," jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu.

"Kompensasinya apa?"

"Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebagai warga negara."

“Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium? ”

"Betis yang indah itu!"

"Hanya seorang ciuman?"

"Seribu kali pun aku bersedia."

Mbak Tia tersenyum manis dikulum. Ia berusaha manahan tawanya.

"Dan aku yang menentukan bagian mana saja yang harus kau cium, oke?"

"Kesepakatan, Nyonya!"

“Aku suka itu!” Kata Mbak Juliana sambil bangkit dari sofa.

Ia melangkah ke mejanya lalu menarik kursinya ke luar dari kolong mejanya yang besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi, kursi duduk yang besar dan empuk, Mbak Juliana tersenyum. Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan.

“Periksalah, Susanto. Berlutut di depanku! ”Aku membisu. Terpana mendengar perintahnya.

“Kau tidak mau memeriksanya, Susanto?” Tanya Mbak Juliana sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.

Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah seperti itu. Lebih diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Mbak Juliana masih tetap tersenyum kompilasi lebih merenggangkan lututnya.

"Susanto, kau tahu warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?" Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku.

Tatapanku terpaku di dalam keremangan di antara celah lutut Mbak Juliana yang meregang. Akhirnya aku bangkit menghampirinya, dan berlutut di bangkit. Sebelah lututku memutarkan karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tia masih tersenyum. Telapak pindah mengusap pipiku beberapa kali, lalu pindah ke rambutku, dan sedikit dikembalikan kepalaku agar menunduk ke Arah dipindahkan.

"Ingin tahu warnanya?" Aku mengangguk tak berdaya.

"Kunci dulu pintu itu," katanya sambil menunjuk pintu ruang tamu. Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di memulai.

Mbak Juliana menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada saat saya mendapat kesempatan untuk memandang ke pangkal pahanya. Dan kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna putih. Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana itu. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk semua bulu yang mengitari pangkal pahanya. Sementara itu, bibir bayangan bibir di balik segitiga tipis itu.

"Suka?" Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Juliana ke atas lututku.

Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu. Mbak Tia mengangguk. Tak ada komentar yang ditolak. Aku menunduk kembali. Mengelus-elus transfer sukses. Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu halus. Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas hingga ..., sampai .. Aah, aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Tolak membuat bulu-bulu itu meremang.

"Indah sekali," kataku sambil mengelus-elus betisnya. Kenyal.

"Suka, Susanto?" Aku mengangguk.

“Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa betisku indah! ”

Aku mengangkat kaki Mbak Juliana dari lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu. Aku sedikit membungkuk agar bisa mengecup bantal gantung. Pada kecupan yang kedua, aku menjulurkan lidah agar bisa mengecup sambil menjilat, mengingat kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Juliana menurunkan paha kanan dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian dalam kanannya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari Mbak Juliana mengangkat daguku. Aku menengadah.

"Kurang jelas, Susanto?" Aku mengangguk.

Mbak Juliana tersenyum nakal sambil mengusap-usap rambutku. Lalu telapak mengembalikan bagian belakang kepalaku jadi aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Aku tidak pernah melihat paha semulus dan seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian itu juga ditumbuhi, tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan warna kehitaman agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading.

Aku merinding. Karena ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya. Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di bagian belakang belakang mulus tanpa bulu. Karena gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Dan kompilasi hanya sekitar kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas dan basah.

Sekarang hidungku sangat dekat dengan segitiga yang pangkal pahanya. Karena sangat dekat, walau tersembunyi, dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir kewanitaannya. Ada segaris kebasahan terselip di bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang mengubah rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya. Sambil memandang pesona di depan mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Aroma tercium segar yang membuatku jadi semakin tak berdaya. Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Juliana. Ingin kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya.

Mbak Juliana menghempaskan dekorasi ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.

"Suka Susanto?"

"Hmm .. Hmm ..!" Jawabku bergumam sambil diminta ciuman ke betis dan lutut kirinya.

Lalu kuraih letakkan kaki kanannya, dan letakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya. Mbak Juliana menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu kompilasi ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan semakin lama semakin meningkat pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras. Dan kompilasi bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Mbak Juliana mendorong kepalaku.

Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum dibuka, Mbak Juliana menarik telapak menarik dari pundakku. Ia lalu menekuk dan mengatur telapak kaki kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi menjuntai ke karpet.

"Suka Susanto?"

"Hmm .. Hmm ..!"

"Jawab!"

"Suka sekali!"

Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tia merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.

“Nanti ada yang melihat bayangan kita dari balik kaca. Masuk ke dalam, Susanto, ”katanya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku terkesima. Mbak Tia merenggut bagian belakang kepalaku, dan menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan lambat itu tak mampu kutolak. Lalu Mbak Juliana tiba tiba tiba di pahanya dan mendaratkan mulut dan hidungku di pangkal paha itu. Kebasahan yang terselip di antara kedua bibir kewanitaan terlihat semakin jelas. Semakin basah. Dan di situlah hidungku mendarat. Aku menarik nafas untuk menghirup aroma yang sangat menarik. Aroma yang sedikit seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala.

"Suka Susanto?"

"Hmm .. Hmm ..!"

“Sekarang masuk ke dalam!” Ulangnya sambil menunjuk kolong mejanya.

Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tidak bisa berpikir waras. Tak peduli dengan segala kegilaan yang terjadi. Tak peduli dengan etika, dengan norma-norma bercinta, dengan sakral dalam percintaan. Aku hanya peduli dengan kedua belah paha mulus yang akan menjepit leherku, jari-jari tangan lentik yang akan menjambak rambutku,http://beritabagus.net/situs-qq/ telapak tangan yang akan membantu bagian belakang kepalaku, aroma semerbak yang akan menerobos dan menolong rongga dadaku, kelembutan dan kehangatan dua buah jari kewanitaan yang menjepit lidahku, dan tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan yang harus kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal orgasme lendir yang sudah sangat ingin kucucipi.

Di meja kolong, Mbak Juliana membuka kedua belah pahanya lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya. Tapi ia menepis tanganku.

“Hanya lidah, Susanto! BAIK?"

Aku mengangguk. Dan dengan cepat membenamkan wajahku di G-string yang mendukung pangkal pahanya. Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalam-itu. Mbak Juliana terkejut, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.

"Rupanya kau sudah tidak sabar ya, Susanto?" Katanya sambil melingkarkan pahanya di leherku.

"Hm ..!"

"Haus?"

"Hm!"

"Jawab, Susanto!" Katanya sambil menyelipkannya untuk mengangkat daguku. Aku menengadah.

"Haus!" Jawabku singkat.

Tangan Mbak Juliana bergerak melepaskan tali G-string yang dipindahkan di kiri dan kanan pinggulnya. Aku terpana memandang keindahan dua buah bibir berwarna merah yang basah mengkilap. Sepasang bibir yang di bagian atas dibuka tonjolan daging pembungkus clit yang berwarna pink. Aku termangu memandang keindahan yang terpampang terus di depan mataku.

“Jangan diam saja. Susanto! ”Kata Mbak Juliana sambil memegang bagian belakang kepalaku.

"Hirup aromanya!" Sambungnya sambil meraih kepalaku sehingga hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya.

Pahanya menjepit leherku agar aku tak bisa bergerak. Bibirku terjepit dan tertekan di antara dubur dan bagian bawah vaginanya. Karena harus bernafas, aku tak punya pilihan selain menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yang bisa kuhirup, tenang tapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih dalam lagi. Mbak Juliana terpekik. Pinggulnya diangkat dan digosok-gosokkannya dengan Julianar hingga hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yang mulai mengalir dari sumbernya. Aku mendengus. Mbak Juliana menggelinjang dan kembali mengangkat pinggulnya. Aroma kuhirup kewanitaannya dalam-dalam, seolah vaginanya adalah nafas kehidupannku.

"Fantastis!" Kata Mbak Juliana sambil mendorong kepalaku dengan lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum memandang yang telah licin dan basah.

"Enak 'kan?" Sambungnya sambil membelai ujung hidungku.

"Segar!" Mbak Juliana tertawa kecil.

“Kau pandai memanjakanku, Susanto. Sekarang, kecup, jilat, dan hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan itu kau memuja ini, ”katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yang sebagian besar mempermasalahkan bibir kewanitaannya.

“Jilat dan hisap dengan rakus. Tunjukkan bahwa kau memujanya. Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yang tersisa! Tunjukkan dengan rakus bagaikan ini kesempatan pertama dan yang terakhir bagimu! ”

Aku setuju dengan kata-katanya. Aku tak peduli saat ada nada yang memerintahkan setiap kalimat yang diucapkannya. Aku memang lapar dan lapar untuk mereguk kelembaban dan kehangatan vaginanya. Kerongkonganku terasa panas dan kering. Aku benar-benar senang dan ingin segera mendapatkan segumpal lendir yang akan dihadiahkannya untuk membasahi kerongkongannku. Lalu bibir kewanitaannya kukulum dan kuhisap agar semua kebasahan yang melekat di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir kewanitaannya kuhisap-hisap bergantian.

Kepala Mbak Juliana terkulai di sandaran kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya menginjak bahuku. Pinggulnya terangkat dan terhempas di kursi berulang kali. Sesekali pinggul yang bergerak bergerak lidahku yang bergerak Julianar di dinding kewanitaannya. Ia merintih setiap kali lidahku menjilat clitnya. Nafasnya mengebu. Kadang-kadang ia memekik sambil menjambak rambutku.

“Ooh, ooh, Susanto! Susanto! ”Dan kompilasi clitnya kujepit di antara bibirku, lalu kuhisap dan permainkan dengan ujung lidahku, Mbak Juliana merintih menyebut-nyebut namaku ..

“Susanto, nikmat sekali sayang .. Susanto! Ooh .. Susanto! ”

Ia menjadi Julianar. Telapak menghabiskan menghentak-hentak di bahu dan kepalaku. Paha kanannya sudah tidak melilit leherku. Kaki itu sekarang diangkat dan tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai gantinya, kedua tangan Mbak Juliana menjambak rambutku. Menekan dan menggerakkan-gerakkan kepalaku sekehendak kemenangan.

“Susanto, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap! "



Aku menjulurkan lidah sedalam-buatan. Membenamkan wajahku di vaginanya. Dan mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir vaginanya, kedutan yang menghisap lidahku, buat agar masuk lebih dalam. Beberapa detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap seluruh vaginanya. Aku tak ingin ada setetes pun yang terbuang. Inilah hadiah yang kutunggu-tunggu. Hadiah yang dapat menyejukkan kerongkonganku yang kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalam-dasarnya agar dapat langsung menghisap dari bibir vaginanya yang mungil.

“Susanto! Hisap Susanto! "

Mbak Juliana dapat mendengar dari luar ruangan. Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli. Aku hanya peduli dengan lendir yang bisa kuhisap dan kutelan. Lendir yang hanya segumpal kecil, hangat, kecut, yang semakin membasahi kerongkonganku. Lendir yang langsung ditumpahkan dari vagina Mbak Juliana, dari pinggul yang terangkat agar lidahku terhunjam dalam.

"Oh, fantastis," gumam Mbak Juliana sambil menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.

Ia menunduk dan mengusap-usap kedua belah pipiku. Tak lama kemudian, jari memulai menengadahkan daguku. Sejenak aku berhenti menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.


“Aku puas sekali, Susanto,” katanya. Kami saling menatap. Matanya berbinar-binar. Sayu. Ada kelembutan yang memancar dari bola yang menatap sendu.

"Susanto."

"Hm .."

"Tatap mataku, Susanto." Aku menatap bola pandangan.

“Jilat cairan yang tersisa sampai bersih”

“Hm ..” jawabku sambil mulai menjilati vaginanya.

“Jangan menunduk, Susanto. Jilat sambil menatap mataku. Aku ingin melihat erotisme di bola matamu kompilasi menjilat-jilat vaginaku. "

Aku menengadah untuk melihat matanya. Sambil melingkarkan kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat dan menghisap kembali cairan lendir yang kembali di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.

"Kau memujaku, Susanto?"

"Ya, aku memuja betismu, pahamu, dan di atas segalanya, yang ini .., muuah!" Jawabku sambil mencium kewanitaannya dengan mesra sepenuh hati.

Mbak Juliana tersenyum manja sambil mengusap-usap rambutku.